×
DULU DOKCIL SEKARANG DOKTER GIGI, MOTIVASI UNTUK DOKCIL STUDENT ONE (Bagian 2)

Berdasarkan kisah nyata

Sakitnyapun beragam, ada yang pusing, k*r*ng*n (meskipun ada yang memaksakan diri masuk sekolah sehingga mengundang lalat…ups), dan sakit gigi.

Jika orangtua mereka keras dan disiplin terkadang dalam keadaan sakit gigipun dipaksa masuk sekolah. Akhirnya guru mendapati siswa yang sepanjang pelajaran kepalanya diletakkan di meja. Ketika diperiksa pipinya bengkak. Hal inilah salah satu penyebab mengapa Penulis mempelajari buku “Penyembuhan Praktiak Pijat Reflexi (Kyunk Rak)”. Jadilah tukang pijat refleksi dadakan. Saat istirahat anak tersebut Penulis pijat di titik refleksi gigi, antara kuku dan ruas pertama ibu jari kaki. Posisinya menyilang antara gigi yang sakit dengan ibu jari yang dipijit.

Sukses mengawal program UKGS pihak Puskesmas menawari program dokter kecil (Dokcil). Bahwa di sekolah perlu ada agen kesehatan yang berasal dari siswa, mereka dilatih untuk menangani masalah kesehatan ringan. Setelah memperdalam maksud program ini Penulispun menyambutnya dengan antusias. Program ini disebut dengan Usaha Kesehatan Sekolah atau UKS.  

Kepala madrasahpun mengizinkan dan Penulis ditugaskan untuk menjadi guru pembimbing UKS.

Langkah pertama adalah mencari agen kesehatan atau dokter kecil, Penulis mengadakan seleksi calon dokter kecil terhadap siswa kelas 4, 5 dan kelas 6. Akhirnya terpilih 10 siswa putra-putri calon dokcil. Mereka dilatih oleh dokter Puskesmas, mulai dari penjelasan seputar medis, kebersihan hingga praktik penanganan P3K. Diakhir pelatihan mereka dilantik dan diberi predikat sebagai Dokter Kecil. Merekapun mendapat inventaris baju putih khas dokter dan topi putih.


drg. Anita sedang memberikan penyuluhan di sebuah sekolah (dok. pribadi)


Dokcil-cokcil ini mendapat tugas piket harian menjaga UKS secara bergantian. Namun karena keterbatasan sarana maka ruang UKS menumpang di ruang guru. Ruang praktiknya hanya berukuran tempat tidur pasien dan ditutup dengan kain putih. Pada dinding terpasang kotak P3K berisi obat-obatan ringan.

Selain piket rutin, mereka juga berjaga saat upacara bendera, siaga terhadap teman-temannya yang merasa pusing, dll. Setiap pekan mereka memeriksa kuku siswa lain dan membimbing acara menggosok gigi bersama. Setiap 6 bulan mereka mencatat tinggi/berat badan siswa.

***

Seorang gadis kecil menggendong tas sekolah tampak berjalan disamping ibunya. Dahinya tertutup rambut yang dipotong model poni. Rambutnya yang panjang mencapai punggung menjuntai bak ekor kuda. Saat ia tertawa beberapa giginya tampak “gelap” alias tidak utuh lagi. Menurut ibunya akibat suka makan permen. Ia masuk kelas I MI saat umurnya baru menjelang 6 tahun.

“Kegelapan” inilah yang kemudian menjadi bahan balas-membalas ledekan Penulis dengan Putri, begitu Penulis memanggilnya. Padahal namanya cukup panjang. Nama empat orang yang dia borong sendiri.
Sebaliknya ia menyebut Penulis sebagai “baby face”, imut katanya. Kabar baiknya saat itu belum ada klausul bullying, jadi olok-olokan antar guru-muridpun aman-aman saja bahkan membuat suasana lebih cair.

Saat itu Penulis cukup heran, mengapa ia langsung masuk kelas 1 bukan di TK. Bukankah anak-anak seumur dia seharusnya masih di TK? Begitu pikir Penulis. Selain  itu keluarganyapun berkecukupan dan pastinya mampu bila ia sekolah di SD negeri atau di madrasah laboratorium sebuah perguruan tinggi Islam di Ciputat.

Untuk menghilangkan rasa penasaran, Penulispun bertanya kepada ibunya yang setiap hari mengantarnya. Menurut ibunya, Putri sudah didaftarkan di dua sekolah tersebut, namun tidak ada yang mau menerima calon siswa yang belum berumur 7 tahun, dan disarankan masuk TK terlebih dahulu. Sementara anaknya tidak mau masuk TK, maunya masuk di kelas I SD. Atas dasar itulah ibunya mendaftar di madrasah tempat Penulis mengajar yang lebih fleksibel terhadap kondisi calon siswa.

Bagi masyarakat sekitar, madrasah ini dulunya tempat ngaji sehingga seluruh kelas awalnya (masuk) belajarnya siang, karena memfasilitasi anak-anak yang paginya sekolah di SD.  Atas desakan masyarakat akhirnya diformalkan menjadi madrasah ibtidaiyah (MI) yang setara SD.

Setelah menjadi MI, sebagian kelas masuk pagi. Karena keterbatasan ruang belajar maka hanya kelas 1 sampai 3 dan 1 lokal untuk TK yang masuk pagi hingga pukul 11.00. Kelas 4 sampai 6 mulai belajar jam 13.00 – 17.30. Jumlah total murid sekitar 100 siswa. Sebagian besar siswa berasal dari kalangan menengah ke bawah. Beberapa siswa bersekolah di SD negeri atau madrasah elit di komplek UIN, dan siang sampai sore bersekolah di madrasah karena orangtuanya ingin anaknya memiliki ilmu agama lebih lebih banyak.

“Putri tidak mau masuk TK karena cuma nyanyi-nyanyi dan dia sudah banyak hafal lagu-lagu TK. Saya yang ngajarin. Baca Al Quranpun sudah lancar,” demikian ujar Sang Ibu sambil tertawa.

Awalnya pihak madrasahpun ragu menerima Putri dan menyarankan masuk TK yang lokalnya bersebelahan dengan ruang kelas I. Lagi-lagi anaknya menolak.

“Nggak apa-apa dia ikutan di kelas I, jadi ‘anak bawang’,” demikian ujar ibunya pasrah mengikuti kemauan anaknya. Menurut KBBI, “anak bawang” berarti peserta yang tidak masuk hitungan (hanya sebagai penggenap atau ikut-ikutan saja).

Iapun mengikuti pembelajaran di kelas I. Di kelas ia dikenal siswa yang cepat bosan terutama setelah memahami pelajaran. Pelampiasan dengan bermain sendiri dan sesekali mengganggu teman-temannya. Namun yang mengejutkan guru-gurunya, meski “anak bawang” nilai Putri selalu tinggi. Peringkat di kelas turun naik antara ranking 1 dan 2. Begitupun di kelas-kelas berikutnya. Iapun aktif dikegiatan ekstra kurikuler seperti Pramuka dan paduan suara. Kedua ekskul ini dibimbing oleh Penulis.

Program dokcil dibuka untuk menopang Usana Kesehatan Sekolah (UKS). Saat program dokcil dibuka di madrasah kami, ia duduk di kelas V dan merupakan angkatan pertama program dokcil. Kerjasama dengan Puskesmas semakin intensif. Beberapa kali tim dokcil ini berkunjung ke Puskesmas Ciputat untuk belajar dan sebaliknya beberapa petugas Puskesmas datang ke sekolah. Meskipun madrasah kami kecil dan terpencil namun kebersihan sudah mulai tampak. Setidaknya tidak ada lagi tumpukan sampah atau tanah bekas sampah yang menempel dilantai dan sudut ruang.

Ia tamat madrasah sekitar tahun 1993. Pertemuan terakhir saat Penulis mendaftarkannya secara kolektif di MTs.N Pondok Pinang. Selanjutnya kehilangan kontak hingga ketemu di PKM Bakti Jaya tersebut.
***

Suatu saat ia menceritakan kisahnya. Setamat dari MTs.N Pondok Pinang ia masuk SMAN 74 Jakarta. Selanjutnya meneruskan pendidikan tinggi di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) tahun 1999-2005.

Pada saat kuliahpun ia merupakan lulusan termuda. Terdapat cerita unik saat ia sedang menjalani program Co-assistant atau Koas. Koas adalah program profesi yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa jurusan kedokteran untuk mendapatkan gelar dokter. Koas dilaksanakan di rumah sakit dalam kurun waktu hingga 2 tahun.

Saat tugas akhir di Departemen Pedodonsi (departemen yang menangani konservasi gigi dan mulut anak) ia mengadakan requirement dan berhasil diselesaikan tepat waktu dalam satu putaran, yakni 3 bulan. Ini peristiwa yang belum pernah terjadi sejak kampusnya berdiri. Rata-rata mahasiswa menyelesaikan program ini dalam 3 putaran bahkan lebih. Jadi pada saat yang sama masih banyak senior-seniornya yang belum menyelesaikan requirement. Dengan kata lain departemen ini cukup menjadi momok bagi mahasiswa FKG. Senior-seniornyapun banyak telat lulus di departemen ini.

“Saya mendapat dosen pembimbing yang tepat sehingga sebagai mahasiswa saya memahami masalah dan merumuskan penyelesaiannya. Alhamdulillah saya paling cepat di requirement ini, bahkan belum pernah dicapai oleh lulusan sebelumnya,” demikian kenangnya. Dosen pembimbingnya adalah seorang dokter gigi spesialis konservasi gigi anak. (bersambung ke bagian 3)