Berdasarkan kisah nyata
Sakitnyapun beragam, ada yang pusing, k*r*ng*n (meskipun ada yang
memaksakan diri masuk sekolah sehingga mengundang lalat…ups), dan sakit
gigi.
Jika orangtua mereka keras dan disiplin terkadang dalam keadaan sakit
gigipun dipaksa masuk sekolah. Akhirnya guru mendapati siswa yang sepanjang
pelajaran kepalanya diletakkan di meja. Ketika diperiksa pipinya bengkak. Hal
inilah salah satu penyebab mengapa Penulis mempelajari buku “Penyembuhan
Praktiak Pijat Reflexi (Kyunk Rak)”. Jadilah tukang pijat refleksi dadakan.
Saat istirahat anak tersebut Penulis pijat di titik refleksi gigi, antara kuku
dan ruas pertama ibu jari kaki. Posisinya menyilang antara gigi yang sakit
dengan ibu jari yang dipijit.
Sukses mengawal program UKGS pihak Puskesmas menawari program dokter
kecil (Dokcil). Bahwa di sekolah perlu ada agen kesehatan yang berasal dari
siswa, mereka dilatih untuk menangani masalah kesehatan ringan. Setelah
memperdalam maksud program ini Penulispun menyambutnya dengan antusias. Program
ini disebut dengan Usaha Kesehatan Sekolah atau UKS.
Kepala madrasahpun mengizinkan dan Penulis ditugaskan untuk menjadi guru
pembimbing UKS.
Langkah pertama adalah mencari agen kesehatan atau dokter kecil, Penulis mengadakan seleksi
calon dokter kecil terhadap siswa kelas 4, 5 dan kelas 6. Akhirnya terpilih 10
siswa putra-putri calon dokcil. Mereka dilatih oleh dokter Puskesmas, mulai
dari penjelasan seputar medis, kebersihan hingga praktik penanganan P3K.
Diakhir pelatihan mereka dilantik dan diberi predikat sebagai Dokter Kecil.
Merekapun mendapat inventaris baju putih khas dokter dan topi putih.
drg. Anita sedang memberikan penyuluhan di sebuah sekolah (dok. pribadi)
Dokcil-cokcil ini mendapat tugas piket harian menjaga UKS secara
bergantian. Namun karena keterbatasan sarana maka ruang UKS menumpang di ruang
guru. Ruang praktiknya hanya berukuran tempat tidur pasien dan ditutup dengan
kain putih. Pada dinding terpasang kotak P3K berisi obat-obatan ringan.
Selain piket rutin, mereka juga berjaga saat upacara bendera, siaga
terhadap teman-temannya yang merasa pusing, dll. Setiap pekan mereka memeriksa
kuku siswa lain dan membimbing acara menggosok gigi bersama. Setiap 6 bulan
mereka mencatat tinggi/berat badan siswa.
***
Seorang gadis kecil menggendong tas sekolah tampak berjalan disamping
ibunya. Dahinya tertutup rambut yang dipotong model poni. Rambutnya yang panjang
mencapai punggung menjuntai bak ekor kuda. Saat ia tertawa beberapa giginya tampak
“gelap” alias tidak utuh lagi. Menurut ibunya akibat suka makan permen. Ia
masuk kelas I MI saat umurnya baru menjelang 6 tahun.
“Kegelapan” inilah yang kemudian menjadi bahan balas-membalas ledekan Penulis dengan Putri, begitu Penulis memanggilnya. Padahal namanya cukup panjang. Nama empat orang yang dia borong sendiri.
Sebaliknya ia menyebut Penulis sebagai “baby face”, imut katanya. Kabar baiknya saat itu belum ada klausul bullying, jadi olok-olokan antar guru-muridpun
aman-aman saja bahkan membuat suasana lebih cair.
Saat itu Penulis cukup heran, mengapa ia langsung masuk kelas 1 bukan di
TK. Bukankah anak-anak seumur dia seharusnya masih di TK? Begitu pikir Penulis.
Selain itu keluarganyapun berkecukupan dan
pastinya mampu bila ia sekolah di SD negeri atau di madrasah laboratorium sebuah perguruan tinggi Islam di Ciputat.
Untuk menghilangkan rasa penasaran, Penulispun bertanya kepada ibunya
yang setiap hari mengantarnya. Menurut ibunya, Putri sudah didaftarkan di dua
sekolah tersebut, namun tidak ada yang mau menerima calon siswa yang belum
berumur 7 tahun, dan disarankan masuk TK terlebih dahulu. Sementara anaknya
tidak mau masuk TK, maunya masuk di kelas I SD. Atas dasar itulah ibunya
mendaftar di madrasah tempat Penulis mengajar yang lebih fleksibel terhadap
kondisi calon siswa.
Bagi masyarakat sekitar, madrasah ini dulunya tempat ngaji sehingga
seluruh kelas awalnya (masuk) belajarnya siang, karena memfasilitasi anak-anak
yang paginya sekolah di SD. Atas desakan
masyarakat akhirnya diformalkan menjadi madrasah ibtidaiyah (MI) yang setara
SD.
Setelah menjadi MI, sebagian kelas masuk pagi. Karena keterbatasan ruang
belajar maka hanya kelas 1 sampai 3 dan 1 lokal untuk TK yang masuk pagi hingga
pukul 11.00. Kelas 4 sampai 6 mulai belajar jam 13.00 – 17.30. Jumlah total murid
sekitar 100 siswa. Sebagian besar siswa berasal dari kalangan menengah ke
bawah. Beberapa siswa bersekolah di SD negeri atau madrasah elit di komplek
UIN, dan siang sampai sore bersekolah di madrasah karena orangtuanya ingin
anaknya memiliki ilmu agama lebih lebih banyak.
“Putri tidak mau masuk TK karena cuma nyanyi-nyanyi dan dia sudah banyak
hafal lagu-lagu TK. Saya yang ngajarin. Baca Al Quranpun sudah lancar,” demikian
ujar Sang Ibu sambil tertawa.
Awalnya pihak madrasahpun ragu menerima Putri dan menyarankan masuk TK
yang lokalnya bersebelahan dengan ruang kelas I. Lagi-lagi anaknya menolak.
“Nggak apa-apa dia ikutan di kelas I, jadi ‘anak bawang’,” demikian
ujar ibunya pasrah mengikuti kemauan anaknya. Menurut KBBI, “anak bawang”
berarti peserta yang tidak masuk hitungan (hanya sebagai penggenap atau
ikut-ikutan saja).
Iapun mengikuti pembelajaran di kelas I. Di kelas ia dikenal siswa yang
cepat bosan terutama setelah memahami pelajaran. Pelampiasan dengan bermain
sendiri dan sesekali mengganggu teman-temannya. Namun yang mengejutkan
guru-gurunya, meski “anak bawang” nilai Putri selalu tinggi. Peringkat di kelas
turun naik antara ranking 1 dan 2. Begitupun di kelas-kelas berikutnya. Iapun
aktif dikegiatan ekstra kurikuler seperti Pramuka dan paduan suara. Kedua
ekskul ini dibimbing oleh Penulis.
Program dokcil dibuka untuk menopang Usana Kesehatan Sekolah (UKS). Saat
program dokcil dibuka di madrasah kami, ia duduk di kelas V dan merupakan
angkatan pertama program dokcil. Kerjasama dengan Puskesmas semakin intensif.
Beberapa kali tim dokcil ini berkunjung ke Puskesmas Ciputat untuk belajar dan
sebaliknya beberapa petugas Puskesmas datang ke sekolah. Meskipun madrasah kami
kecil dan terpencil namun kebersihan sudah mulai tampak. Setidaknya tidak ada
lagi tumpukan sampah atau tanah bekas sampah yang menempel dilantai dan sudut
ruang.
Ia tamat madrasah sekitar tahun 1993. Pertemuan terakhir saat Penulis
mendaftarkannya secara kolektif di MTs.N Pondok Pinang. Selanjutnya kehilangan
kontak hingga ketemu di PKM Bakti Jaya tersebut.
***
Suatu saat ia menceritakan kisahnya. Setamat dari MTs.N Pondok Pinang ia
masuk SMAN 74 Jakarta. Selanjutnya meneruskan pendidikan tinggi di Fakultas
Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) tahun 1999-2005.
Pada saat kuliahpun ia merupakan lulusan termuda. Terdapat cerita unik
saat ia sedang menjalani program Co-assistant atau Koas.
Koas adalah program profesi yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa jurusan kedokteran
untuk mendapatkan gelar dokter. Koas dilaksanakan di rumah sakit dalam kurun
waktu hingga 2 tahun.
Saat tugas akhir di Departemen Pedodonsi (departemen yang menangani konservasi
gigi dan mulut anak) ia mengadakan requirement dan berhasil diselesaikan
tepat waktu dalam satu putaran, yakni 3 bulan. Ini peristiwa yang belum pernah
terjadi sejak kampusnya berdiri. Rata-rata mahasiswa menyelesaikan program ini
dalam 3 putaran bahkan lebih. Jadi pada saat yang sama masih banyak
senior-seniornya yang belum menyelesaikan requirement. Dengan kata lain
departemen ini cukup menjadi momok bagi mahasiswa FKG. Senior-seniornyapun
banyak telat lulus di departemen ini.
“Saya mendapat dosen pembimbing yang tepat sehingga sebagai mahasiswa saya
memahami masalah dan merumuskan penyelesaiannya. Alhamdulillah saya
paling cepat di requirement ini, bahkan belum pernah dicapai oleh
lulusan sebelumnya,” demikian kenangnya. Dosen pembimbingnya adalah seorang
dokter gigi spesialis konservasi gigi anak. (bersambung ke bagian 3)