Berdasarkan kisah nyata
Dosen pembimbingnya adalah seorang dokter gigi spesialis konservasi
gigi anak.
***
Oleh pembimbingnya, Putri yang IPKnya sedang (begitu pengakuannya) dan
teman koasnya yang IPKnya lebih tinggi dijadikan semacam sampel dalam
penyelesaian requirement di departemen ini. Putripun lebih awal
menyelesaikan program ini dibanding temannya tersebut.
“Ternyata kuncinya rajin,” ujarnys.
Namun keberhasilannys menyelesaikan Koas lebih cepat ini tidak menjadikan
Putri lebih cepat diwisuda. Dengan berbagai alasan kelulusannya ditahan. Meskipun
dengan alasan yang menurutnya cukup janggal, iapun ikhlas menghadapinya. Kelulusannyapun
tertunda karena menunggu senior-seniornya menyelesaikan requirement. Iapun kembali menjadi wisudawan termuda
saat itu. Sempurnalah ia menyandang gelar drg. Anita Putriyanti Dewi.
***
Ia memulai karier sebagai dokter gigi diantaranya menjadii honorer di
Dinkes Tangsel (2010).
Menurutnya kuliah di FKG merupakan pendidikan yang komplit karena
menggabungkan teori, seni, konstruksi, dan berhitung.
“Semua itu menjadikan perjuangan menjadi harus serius, sulit, lelah, dan harus disiplin,” demikian
menurutnya saat Penulis memintanya bercerita via chat WA.
Pendidikan ini memaksa kita menguatkan
mental fisik membentuk mindset kalau dokter adalah pelayanan, bukan
dilayani. Ilmunya amanah langsung dari Allah untuk kebaikan dunia. Demikian
imbuhnya.
Mengapa di FKG ada unsur seninya?
“Untuk memahami anatomi gigi kita harus menggambar dan carving. Kemudian bekerja di mulut yang basah, sempit, dan gelap itu butuh latihan feel, yang dasarnya adalah ‘seni merasakan’,” ujarnya. Carving gigi atau mengukir gigi merupakan latihan pra-klinis mahasiswa kedokteran gigi di tahun pertama untuk mempelajari anatomi gigi.
Di kampus ia mendapat mata kuliah ilmu material dan tekhnik kedokteran
gigi. Kedua ilmu ini berperan untuk membuat gigi tiruan.
“Tidak ada ukuran gigi yang sama persis, itulah mengapa kita membuat
gigi tiruan untuk beberapa kasus,” imbuhnya.
Namun demikian saat sekolah ia
bercita-cita menjadi pramugari. Mengapa bukan dokter gigi seperti profesinya
sekarang?
“Saat itu saya justru takut dokter
gigi,” jawabnya disertai emot tertawa
lebar. Namun ketakutan inilah yang kemudian mendorongnya mengambil FKG selepas
SMU (sekarang SMA).
Ia menuturkan, saat SMU ia “terpaksa”
mengambil jurusan IPA. Sebenarnya ia berminat masuk kelas bahasa dan mengambil Deutsche
(bahasa Jerman). Namun malang tak dapat ditolak, pada saat ia masuk di SMUnya program
ini ditutup. Sementara untuk masuk IPS ia merasa berat dengan hafalan, teksbook
dan sulit berlogika.
***
Berbagai pengalaman unikpun pernah ia dapatkan. Suatu saat ia kesulitan
mencabut gigi seorang pasien padahal giginya sudah nyaris lepas (goyang). Si
pasienpun mengaku bahwa ia mengantongi jumat di saku pakaiannya. Seketika itu
juga drg. Putri minta agar pasien mengeluarkan jimatnya. Akhirnya gigipun dapat
dicabut.
Di saat yang lain ia menerima hasil foto rontgen gigi seorang pasien
yang telah memeriksakan gigi kepadanya. Namun drg. Putri kaget bukan kepalang. Bukan
hanya gigi berlubang yang ia lihat namun hasil foto menampakan beberapa susuk
di bagian muka pasien tersebut.
Dalam hal belajar ia berprinsip harus ada yang didapatkan dari yang ia
lakukan.
Ia mengaku tidak hobi sekolah (aneh ini orang). Saya bersekolah
karena keberhasilan saya melawan kemalasan, lanjutnya. Nah, dari susah
payah ini maka harus ada yang saya dapatkan sebagai kompensasi. “Termasuk sekolah,” ujarnya.
Mengenang saat menjadi dokcil,
Penulis bertanya perasaannya dan mengapa mau saat diajak jadi dokcil.
“Bangga juga karena dari sekian siswa
hanya beberapa anak yang bisa jadi dokcil. Jadi dokcil gampang
kerjanya cuma ngukur tinggi badan, berat badan dan ngurus orang sakit he..he…”
Itu adalah jawaban Penulis saat menjawab pertanyaannya 32 tahun yang lalu. Ketika itu ia bertanya apa saja pekerjaan dokcil.
Mungkin kita pernah merasakan saat
sedang sakit gigi. Muka cemberut, makan tak enak, merasa marah bila mendengar
suara keras. Perasaan kesal menggumpal di dalam dada namun tak dapat
melampiaskannya karena bila berteriak gigi makin sakit
“Bahwa dengan menjadi dokter gigi kitalah orang pertama yang bisa
membantu orang tersenyum kembali,” ujar drg. Anita Putriyanti Dewi ini. Satu
lagi, saat dokter gigi bisa menaklukan rasa takut pasien, itulah prestasi
bergengsi seorang dokter gigi. Imbuhnya.
Kini ia praktik beberapa hari dalam sepekan di sebuah rumah sakit di Jl. Cendrawasih, Sawah Lama, Ciputat. Disamping itu iapun membuka praktik pribadi di kediamannya Jl. Mawar, Pisangan, Ciptim.
Apa pesan untuk dokcil kita? Tanya
Penulis via WA.
“Jadi dokter itu baik, (tetapi bila) masih
kecil sudah dokcil itu kereennn...🥰🏁,” pungkasnya menutup kisah.[]